Oleh Kus Sumartono
Seperti biasa, pagi ini aku berangkat kerja diantar Heri (putra pertamaku) dengan sepeda onthel sampai terminal. Selanjutnya, aku naik bus untuk sampai ke tempat kerja. Tak ubahnya dengan kemarin, hari ini Heri selalu marah dan menggerutu saat mengantarkanku (ibu kandungnya) berangkat mencari nafkah untuk dirinya dan Indra (putra keduaku).
Aku sadar bahwa kedua putraku sudah dewasa. Aku mulai berpikir jika kelak mereka berumah tangga dan memiliki putra. Saat ini, usianya sudah 27 tahun (Heri) dan 26 tahun (Indra). Usia yang cukup untuk memilih dan menjalani pilihan hidupnya. Heri dan Indra lain. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya berusaha mencari kerja supaya dapat meringankan beban ini. Mereka malah senang menghabiskan waktu menonton TV. Juga berkelahi seperti anak kecil.
Selanjutnya, sedih sekali ketika aku pulang kerja dan mendapati Indra hanya menghabiskan waktu di depan TV. Menonton serial kartun kesayangan. Heri hanya duduk melamun di depan rumah. Pemandangan seperti itu hampir setiap hari menjadi makanan pahit buatku. Tidak seperti teman sebayanya yang bekerja dan membantu meringankan beban orang tua.
Namun, semua permasalahan pelik itu tak lekas membuatku marah. Apalagi membenci kedua putra kandungku. Sebab, aku sadar bahwa hanya merekalah yang aku punya di dunia ini. Aku juga menyayangi mereka, walaupun perilaku mereka seperti itu kepadaku.
Terkadang, aku mendengar keluh-kesah mereka dalam sehari. Dada ini semakin sesak karena hampir setiap hari kedua putraku selalu jadi bahan omongan. Apalagi terkadang diledek para tetangga sekitar dengan segala omongan. Misalnya, kedua putraku mirip orang idiot, bodoh, pemalas, dan banyak lagi dari para tetangga. Tak kuduga, aku langsung emosi dan membalas dengan umpatan-umpatan. Ucapan yang seharusnya tidak aku katakan. Sebab, aku yakin, hati ibu mana pun di dunia ini tak akan diam saja. Terutama bila buah hatinya dilecehkan dan dihina orang lain.
Bukan meminta maaf. Para tetanggaku malah menyebarkan fitnah-fitnah ke tetangga lainnya bahwa aku sudah stres dan gila. Sebab, beban hidup aku pikul sendiri. Sejak cerai, aku mudah marah terhadap orang-orang di sekitarku. Padahal, semua itu tidak benar. Otomatis, para tetanggaku menjaga jarak denganku dan kedua putraku.
Esoknya, sebuah ujian sudah menantiku. Tiba-tiba Heri mendekatiku dan bilang ingin punya ponsel. Kata-kata Heri membuatku tersentak kaget. Buat apa dia punya ponsel? Uang dari mana untuk membelinya? Langsung saja aku tolak permintaan itu. Tiba-tiba Heri seperti orang kerasukan. Dia marah-marah dan mengumpat kepadaku. Seperti aku ini bukan ibunya Iagi. Seolah-olah aku telah menjadi pencuri kebahagiaan hidupnya.
Tentu aku sedih sekali. Tapi, aku hanya bisa terdiam dan meneteskan air mata. Ketika mendengar putra yang sangat aku sayangi dengan lantang menghakimiku. "Seandainya Bapak di sini dan nggak bercerai dengan ibu. Mungkin, hidup kita nggak susah seperti ini. Dasar orang tua bodoh!" ucap Heri kepadaku.
Indra mencoba membelaku. "Nasibmu adalah kamu sendiri yang menentukan, Mas! Nggak ada sangkut pautnya dengan kesalahan dahulu," sahut Indra dewasa. "Kamu tahu apa tentang nasib orang?" jawab Heri (sambil melangkah mendekati Indra dan melayangkan bogem mentah).
Perang saudara lagi-lagi terjadi saat sinar matahari baru beberapa menit menghangatkan bumi. Aku hanya bisa berteriak-teriak minta tolong kepada orang yang barangkali melihat kejadian ini. Untung, Pak Darno (salah seorang tetangga samping rumahku) kebetulan melihat kejadian itu. Dia cepat-cepat melerai Heri dan Indra. Heri dengan emosi tiba-tiba mengambil sebilah pisau yang hendak dihujamkan ke tubuah adik kandungnya.
Begitu pula Indra. Dia berlari keluar rumah dan mengambil batu bata untuk membela diri. Aku tak bisa membayangkan seandainya tak ada seseorang pun yang melerai pertikaian putraku. Mungkin mereka akan saling membunuh di hadapan mata ibu kandungnya.
Ya... Begitulah kejadian pilu yang sering Bu Siti Musaroh alami setiap hari. Kisah janda yang ditinggal suaminya menikah lagi dengan teman kerjanya 20 tahun silam. Dia sekarang harus bangkit dan bekerja keras menafkahi diri dan dua putranya.
Saat tulisan ini aku buat, kejadian sedih lagi-lagi menimpa Bu Siti. Kedua putra Bu Siti seperti tak bosan-bosannya berkelahi. Pada waktu itu, aku tengok jam dinding rumah menunjukkan pukul satu malam. Perkelahian putra Bu Siti seakan memecah keheningan malam yang basah oleh gerimis. Akibatnya, para tetangga berhamburan keluar dan mendatangi rumah Bu Siti. Mereka ingin memastikan apa yang sedang terjadi di malam itu.
Tetapi, para tetangga tidak berani masuk ke dalam rumah. Mereka sungkan dan takut terjadi salah paham. Kebetulan, aku adalah tetangga samping rumah Bu Siti yang dengan cepat mendengar kejadian tersebut. Tanpa pikir panjang, aku yang waktu itu di kamar langsung keluar dengan bapak yang kebetulan lagi nonton tayangan bola di TV. Aku dan bapak melerai dua putra Bu Siti yang mukanya sudah lebam. Menyedihkannya lagi saat aku menjumpai Bu Siti.
Wanita yang usianya sudah kepala lima itu terduduk di lantai pojok ruang tamu rumahnya. Dia menangis dan melamun. Sepertinya, dia sudah lelah akan beban hidup yang dialami. Tak lama kemudian, setelah kondisi cukup tenang, aku kembali masuk rumah. Sebab, besok pagi ada kuliah. Sengaja aku tinggalkan Indra sendiri di depan rumahnya agar sedikit merasa tenang atas kejadian yang baru saja dialami. Heri aku lihat sudah capek mengumpat dan berdiam di ruang tamu. Dia seakan sedang merenungi perilaku yang telah dia perbuat.
Sebelum kejadian perkelahian di malam itu, aku kebetulan sempat berbincang-bincang dengan Bu Siti mengenai aktivitasku dan pekerjaan dia. Tiba-tiba saja, aku terdiam dibuatnya. Mata wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu berkaca-kaca. Dia menerawang jauh ke dalam kisah sedihnya di masa lalu. Aku juga dibuat kaget dan bingung harus ngomong apa ketika sebuah pertanyaan terlontar. "Seandainya nanti ajal tiba-tiba menjemput, bagaimana kelak nasib kedua putraku ya?" ucapnya.
"Ah,..jangan bicara seperti itu! Aku yakin umur Bu Siti panjang kok. Malaikat Jibril pasti kesasar seandainya mau jemput Bu Siti. He he he..." jawabku sambil setengah bercanda agar suasana nggak terlalu tegang dan sedih waktu itu. Bu Siti lantas tertawa atas jawaban konyolku.
Tapi , kata-kata Bu Siti telah menghantui pikiranku. "Iya... ya, bagaimana nanti kalau Bu Siti meninggal? Terus, gimana nasib Heri dan Indra?" pikirku. Kata-kata yang tak perlu diucapkan dan dipikirkan. Tetapi, itu wujud empati di kalangan tetangga dan diriku kepada sebuah keluarga kecil yang perekonomiannya bertopang pada janda. Jauh dari sanak saudara juga telah menambah beban berat perjalanan hidup Bu Siti dan kedua putranya.
Aku sadar, selayaknya tak menulis sebuah privasi seseorang dalam cerita ini. Sempat juga aku berpikir berkali-kali untuk menulis cerita ini. Sebab, aku tidak ingin menyinggung perasaan Bu Siti bila mengetahuinya. Namun, tujuanku menulis kisah Bu Siti bukanlah mengeksploitasi kisah sedih seseorang dan mempertontonkannya. Apalagi sebagai sebuah hiburan seperti tayangan-tayangan sinetron di TV.
Tetapi, aku menulis karena wujud kekagumanku pada sosok ibu yang begitu kuat, tegar, dan tak kenal kata bosan berjuang meniti hidup di tengah-tengah keterbelakangan mental putranya hingga saat ini. Aku yakin masih banyak Bu Siti-Bu Siti lain di sekitar kita. Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi dan intropeksi dini bagi kita agar selalu heroik berjalan ke depan dan tidak lelah menghadapi cobaan hidup. Sebab, selama kita beryawa, selama itulah kita mengalami berbagai macam masalah. (*)
Beranda Facebook
Minggu, Oktober 05, 2008
Hari Esok Selalu Gelap Buatku
Label: CERPEN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar