Oleh Dhika Puspitasari
Nenek menangis lagi. Seperti kemarin, dua hari lalu, atau kemarinnya lagi. Tangannya berhenti merajut. Air matanya jatuh membasahi syal merah yang belum selesai dirajutnya. Ingin aku bertanya, ada apa gerangan sehingga akhir-akhir ini nenek menangis tanpa sebab. Tapi, isyarat matanya seolah menunjukkan bahwa dia tidak ingin diganggu. Belakangan, aku tahu mengapa nenek sering menangis sesenggukan sendiri.
"Nenekmu rindu kakek," kata ibu menjawab pertanyaanku. "Terlebih lagi, sekarang bulan Ramadan," lanjut ibu. Lantas, ada apa dengan bulan Ramadan? Bagiku, alasan rindu pada kakek cukup membuatku paham. Kenapa nenek sering menangis akhir-akhir ini. Bisa aku bayangkan betapa kehilangannya nenek. Menghadapi kenyataan "kekasih hatinya" tak lagi menemani langkah-langkah rapuhnya di usia senja. Di usianya yang senja, separuh hidupnya telah terisi rekaman saat-saat bersama kakek. Tentunya, kakek adalah belahan jiwa yang tak tergantikan.
Kakek adalah pemuda yang membuat dada nenek berdebar ketika mereka bertemu di suatu sore yang cerah ataupun kala hujan mengguyur tanah-tanah kering di pelataran. Begitu juga ketika nenek dan kakek memutuskan sehidup semati dalam sebuah keluarga bahagia. Hari-hari nenek selalu diisi tawa dan canda kakek.
Dengan setia nenek mengabdi kepada pujaan hatinya itu, memenuhi segala kebutuhan kakek. Meskipun, anak-anak mereka tumbuh dewasa, siap menggantikan tugas nenek merawat kakek yang mulai sakit-sakitan. Nenek tak pernah mau meninggalkan kewajibannya sebagai istri yang setia dan berbakti.
Dirawatnya kakek dengan tangan sendiri, dengan cinta kasihnya yang tak pernah berubah sejak dulu. Akhirnya, datanglah waktu itu. Ketika manusia tak punya hak atas apa pun, termasuk hidupnya sendiri. Ketika manusia harus berpulang pada Pemiliknya. Kakek pun terpejam untuk selamanya.
Nenek goyah tak berpijak. Tubuh rentanya ambruk, bersimpuh sambil mendekap jasad "kekasih hatinya" yang beku kaku. Nenek menangis, memanggil nama kekasihnya itu. Hanya itu yang pernah aku dengar dan saksikan, betapa nenek telah mengabdikan dirinya kepada kakek yang sangat dicintainya.
Sekarang nenek menjalani hidupnya seperti dengan separuh jiwa. Mungkin yang separuh lagi ikut terkubur dengan jasad kakek. Betapa pedih tentunya yang dialami nenek (mungkin juga nenek-nenek lainnya yang telah kehilangan pujaan hatinya). Dia hanya bisa memandang foto-foto kakek yang ditempel di dinding rumah. Mungkin sembari mengucap "Aku rindu padamu."
Waktu bersama yang begitu lama tak akan mudah dihapuskan begitu saja. Kenangan akan selalu terbit di hati nenek setiap melihat, mendengar, atau merasakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kakek. Aku yang baru beberapa waktu berpacaran dan belum menghabiskan banyak waktu bersama merasakan ruang hampa yang begitu besar di dalam hatiku saat hubunganku itu harus berakhir. Lalu, bagaimana nenek? Berpuluh tahun bersama dalam suka dan duka, kini harus berpisah ruang dan waktu. Tanpa tahu pasti kapan bertemu lagi.
***
Aku memberanikan diri mendekati nenek yang air matanya masih bercucuran. Mengetahui aku mendekat, nenek segera menghapus jejak anak sungai yang mengalir di pipinya. Beberapa saat kami terdiam. "Nenek kenapa?" Aku memberanikan diri. Nenek tak menjawab, isyarat tangannya mengatakan padaku untuk lebih dekat dengannya. "Nenek rindu pada kakek?" tanyaku lagi. Nenek tersenyum, anak sungai mengalir lagi di pipinya. Aku jadi merasa bersalah.
"Kita semua merindukannya, Sari. Tentu kau juga merindukan kakek. Benar, kan?" jawab nenek sambil menghapus air matanya lagi. Aku menganggukkan kepala. Nenek menatapku lekat dan aku menjadi bingung. Tiba-tiba nenek mendekapku erat sambil kembali tersedu. "Aku melihat kakekmu di matamu, Sari. Kita akan selalu merindukannya. Selalu," ucap nenek. Aku membalas dekapannya dengan tak kalah erat. Ah, nenek, sungguh kasihan engkau. Kau tentu sangat merindukan kakek, pujaan hatimu. (*)
Beranda Facebook
Minggu, Oktober 05, 2008
Pujaan Hati Seorang Nenek
Label: CERPEN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar