Oleh: Dian Rosalia
Aku adalah sebuah tikar. Ya... lebih tepatnya tikar anyaman bambu yang sudah tua dan usang. Aku tinggal di sebuah keluarga sederhana, keluarga Pak Asep. 16 tahun... 16 tahun lamanya aku mengarungi suka duka bersama keluarga Pak Asep. Boleh dikata aku ini sudah mengerti baik buruk, suka duka keluarga Pak Asep sampai mendarah daging.
Pak Asep bekerja sebagai petani, sedangkan istrinya menjadi tukang pijat di kampungnya yang dikenal dengan sebutan Mbok Darmi. Pijatan Mbok Darmi enak betul. Tangannya yang kuat dan mantap membuat banyak pelanggannya berdatangan.
Aku pun dengan senang hati membantu Mbok Darmi menjadi alas bagi pelanggan-pelanggannya, walau terkadang kebanyakan pelanggan Mbok Darmi adalah orang-orang yang baunya menyengat dan dengan dekil yang masih menempel, tapi aku rela karena gara-gara aku, mereka terkadang keenakan bahkan sampai tertidur mendengkur dan mengeluarkan tetesan hujan membentuk pulau-pulau kecil dan mulutnya.
Para pelanggan Mbok Darmi tidak merasa kedinginan dan merasa empuk karena mereka tidak tertidur langsung beralas tanah dan semen. Ya... memang rumah Mbok Darmi hanya beralas semen. Mbok Darmi mempunyai 6 anak. Aku nggak pernah mengerti mengapa Mbok Darmi senang mengumpulkan anak dengan keadaan ekonomi yang sempit.
Padahal, sebagian anak-anaknya sudah besar semua. Seharusnya sekarang Pak Asep sudah enak menikmati kehidupan tuanya. Keluarga Pak Asep senang memberi nama anak-anak mereka dengan peristiwa yang terjadi saat anak-anak mereka lahir supaya memudahkan mengingat kelahiran anak-anak mereka yang banyak.
Anak ke-l sampai 3 bernama Ratna, Roma, dan Evie. Kebetulan, waktu itu zamannya lagi ngetren film Ratna dan Galih serta penyanyi andalan si Mbok, yaitu Bang Haji Rhoma Irama dan Evie Tamala. Aku masih ingat, kalau TV sudah menayangkan bintang favorit Pak Asep dan Mbok Darmi, wah... langsung mata dan pantat mereka tidak berkutit sedikit pun dariku.
Aku sih senang-senang aja. Dengan begini, berarti aku sudah berguna. Ratna, Roma, dan Evie sudah menikah dan tinggal di desa kampung lain, ikut keluarga masing-masing. Pada saat anak-anak mereka menikah atau khitan, aku pun selalu menjadi alas tambahan bagi tamu-tamu keluarga Pak Asep.
Terkadang ada tamu anak-anak kecil yang mencabuti tubuhku hingga rontok berbiji-biji. Aku pun kesakitan, tetapi aku tak mampu mengerang dan berteriak. Namun, saat aku melihat tawa senyum para tamu yang dapat duduk santai dengan hangat dan empuk sambil menikmati kacang goreng dan pisang goreng, sirna sudah sakitku. Aku puas berkorban dan berguna bagi mereka.
Anak ke-4 dan ke-5 mereka kebetulan kembar bernama Inul dan Dewi, duduk di bangku kelas 1 SD. Ternyata di zaman modern sekarang ini mereka juga memfavoritkan bintang yang populer dan ngetren. Mereka juga fans berat Inul dan Dewi Persik. Anak ke-6 bernama Megawati masih bayi berusia 7 bulan, waktu itu lagi ngetren sang Ibu Presiden kita dengan simbol moncong putihnya.
Semua anak Pak Asep kebetulan dilahirkan dengan bantuan bidan dan beralas aku. Sekarang Mbok Darmi sedang mengandung anak ke-7 dan sebentar lagi mau melahirkan. Aku tak tahu sampai kapan Mbok Darmi berhenti melahirkan. Mungkin Mbok Darmi mau membuat kampung sendiri dengan warganya, ya... anak-anaknya sendiri.
Dengar-dengar semalam waktu Pak Asep dan Mbok Darmi lagi ngobrol dengan duduk di badanku, mereka mengatakan, jika anaknya lahir, akan diberi nama Cinta, tapi kalau laki-laki diberi nama Cipta. Sekarang kan lagi zaman ngomong ala Cinta Laura. Ya. .itung-itung sebagai modal, siapa tahu rezeki jabang bayi besok besar kawin sama bule atau kecipratan ngomong Inggris atau jadi kepala TKI sukses. Hehe... aneh benar Pak Asep pikirku. Tapi, maju juga pikirannya.
Aku paling senang kalau Mbok Darmi menidurkan anaknya di atasku. Bau bedak bayi dan minyak telonnya membuat aku tarnbah segar, pikiranku lebih fresh. Tapi, itu pun terkadang hanya sesekali dilakukan Mbok Darmi. Boro-horo beli minyak telon dan bedak, beli minyak tanah aja susahnya minta ampun.
Aku pun rela badanku ditiduri sebagai alas tidur 4 orang yang saling berdesakan. Bapak terpaksa tidur di luar, di amben depan pintu. Sernentara Mbok Darmi, Inul, Dewi, dan Megawati tidur berdesakan dan saling berpeluk-pelukan karena minimnya selimut. Terkadang bau kentut, ompolan si kecil, tetesan air liur terjatuh tepat di badanku. Si kecil juga sering buang air besar di atasku.
Lengkap sudah bau tubuhku. Tapi, aku sangat senang dan rela karena masih berguna bagi keluarga Pak Asep. Mereka menjadi merasa empuk, tidak kedinginan, dan tidak kotor karena tanah dan semen. Semakin lama bambuku semakin menjuat keluar.
Tetapi, Pak Asep senantiasa menjahit aku, menganyam aku menjadi rapi. Bauku juga semakin beraroma, tetapi Pak Asep masih saja setia menjemurku agar tidak lapuk. Aku sudah tidak kuat lagi. Lubang karena tikus, injakan kaki ayam terus merusak tubuhku. Serabut anyaman bambuku semakin menipis, mereka saling memisah-misahkan diri.
Warnaku semakin luntur menjadi pucat seakan-akan orang yang habis jatuh dari gedung lt 4 (wajah shock berat, pucat). Tapi, aku harus menjadi alat penopang ekonomi Mbok Darmi, harus menjadi penghangat pantat-pantat dan tubuh keluarga Pak Asep, aku harus kuat.
Sampai suatu hari... aku tak kuasa menahan lembaran tubuhku yang semakin ringkih karena dimakan usia. Aku pun lemah, berkutu, dan lapuk. Aku tak tahan... Aku ingin berteriak....
Akhirnya pada suatu hari, aku melihat Pak Asep pulang dengan membawa sebuah teman bagiku. Ya. . . .sebuah tikar baru yang cantik berwarna hijau kemerah-merahan. Warna segar dengan bahan yang kuat. Pak Asep memperolehnya dri tetangga sebelah yang baru pulang dari kota.
Akhirnya, aku bisa istirahat dan lega mendapat penggantinya. Aku senang dan bangga dengan diriku sendiri ini. Tidak banyak tikar yang mengalami kisah seperti aku. Ya. .itulah aku, sebuah pahlawan tikar. (*)
Beranda Facebook
Minggu, Oktober 05, 2008
Hidup Sebagai Sebuah Tikar
Label: CERPEN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar